Sabtu, 22 November 2014

Beda

Aku melihat nya lagi, setelah bertahun-tahun. Hampir tidak ada perubahan dalam penampilan nya- kaos oblong dan celana pendek- hanya rambut nya sekarang panjang hingga bisa diikat.

Kali ini dia betul-betul tidak bisa menghindari ku. Kami sedang mengantri kasir di minimarket dekat rumah. Aku tepat berada di depan nya dengan kaleng obat nyamuk ternama. Musim panas ini seperti kesenangan mereka untuk keluar berpesta, gila. Hampir tiap pagi Aku melihat bentol di pipi atau lengan ku. Padahal sudah kuracuni.

Dia keluar dari minimarket dengan plastik belanjaan, yang kulihat tadi isinya pembalut wanita. Pasti permintaan kakak nya. Aku memang menunggu nya. Dia agak kaget melihat ku tidak jauh dari pintu, berdiri di dekat sepeda nya.

Tanpa bicara, dia berusaha mengacuhkanku. Membebaskan standart sepeda, lalu memutar kemudi nya.
" Kenapa sih? Karena gue pakai jilbab?," Dia hanya melihat ku sebentar lalu mulai menuntun sepeda nya. Ini tanda, dia masih mau diajak bicara.

" Lo apa kabar?," tanya nya dingin, tanpa melihat ku. Kami berjalan menuju gapura kawasan rumah kami.
" Alhamdulillah. lo? Katanya lo baru putus?,"
" Baik, Puji Tuhan.  Abis naik gunung mana? atau abis dari mana lagi?," Dia tidak menjawab pertanyaan ku.
" Nis, please. Lo kenapa sih?,"
" Gue baik-baik aja Nis. Kemarin katanya ada yang meninggal di Semeru? Sekali-kali gue mau ikut dong Nis."

Aku menahan kemudi sepeda nya. Kami berhenti di dekat taman ibu-ibu PKK.
" Nis, kita udah sama-sama gede. Salah gue apa? " Aku memaksa sebuah penjelasan.
" Nis, udah lah kita bukan lagi Dennis-Nisa." matanya menatap kemudi sepeda.
" Lah? Tunggu. Lo mikir gua mau kita....?," Aku terhenti, bingung. Dia pikir aku mau melanjutkan 'yang dulu'?

" Please Dennis, jangan geer. Gua cuma mau penjelasan kenapa lo jauhin gue? Bukan, lo menghindari gue."
" Oke. Bisa nggak kita ngobrol disini 15 menit lagi? Merry nungguin 'ini'." tanya nya. Aku melepaskan kemudi sepeda nya dan memberi sebuah anggukan.


" Nih." Dia memberi sebuah bungkus kado begitu dia duduk di bangku taman.
" Apa?,"
" Buka aja."
Aku membuka nya, " Bungkusnya gue robek nggak apa kan?,"
" Iya, bebas Nis."
" Pashmina?," Aku kaget dengan isi kado nya.
" Katanya sih, beda ya sama jilbab?,"
" Ahahaha beda. Kalo pashmina ini lebih panjang biasanya, such as shawl Nis."
" Tapi bisa dipake kan?,"
" Bisa lah. Anyway, thanks ya."
" Suka nggak?,"
" Suka. " Aku tersenyum, " Tapi kenapa lo kasih ini? Ulang tahun gue masih dua bulan lagi. Lo lupa?,"
" Nggak. Itu...udah lama beli nya. Dua tahun lalu lah, dua hari setelah gua tahu lo memutuskan pake jilbab."
" Kok baru sekarang dikasih nya?,"
" Gue....takut Nis." Dia menghela nafas, kemudian melanjutkan, " Tapi gua inget lo pernah kasih gua rosario bokap lo."

Malam itu, setelah kami pergi menonton bioskop, hampir tiga tahun lalu.
" Nis, nih!" kataku sembari memberinya sebuah salib dengan Yesus Kristus ditengah salib nya, terbuat dari emas.
" Apaan nih?,"
" Rosario. Punya bokap dulu, buat lo aja kata nya. Kali aja lo jadi bener."
Dia cuma cengengesan mendengar penjelasan ku.

" Masih lo simpen?, " tanya ku penasaran.
" Masih. Bokap lo bener kayaknya. Setelah itu, gua jadi rajin kebaktian dan perkumpulan remaja gereja gitu."
" Hahahah bagus lah." Aku melipat pashmina itu lalu meletakkan nya diatas pangkuan.
" Lucu. Kenapa bokap lo nggak sekalian aja ngasih gua peci, sarung, sama sajadah?,"
" Untuk?,"
" Kali aja gua jadi muallaf." Aku diam, dia diam. Hanya ada suara jangkrik, dan gesekan ranting.
Katanya, semua makhluk ciptaan Allah itu selalu bertasbih, melalui suara-suara mereka yang tidak dimengerti manusia. " Semoga kamu bisa mendengar nya Nis, melalui bisikan lain." doa ku dalam hati.
" Bokap apa kabar?," pertanyaannya memecah kesunyian.
" Alhamdulillah. Insha Allah Papa Mama mau umrah bulan depan."
Dia mengangguk " Lo nggak ikut sekalian?,"
" Nggak, itu jadwal gua UAS Nis."
" Oh...sendirian dong di rumah?," Aku mengangguk. Sunyi datang lagi.
" Nis, kenapa?," Aku bertanya lagi.

" Gue...kesel. Tapi nggak tahu kesel sama siapa. Kayak...ada yang ngambil lo dari gue begitu liat lo pake jilbab."
" Tapi gue nggak berubah kan? Dari pertama kali kita duel basket di lapangan?,"
" Iya. Itu yang gua bingung. Kenapa lo masih Nisa? Gua kesel. Kalo lo berubah, mungkin lebih mudah buat gua Nis. " Aku tidak mengomentari, membiarkannya bicara sampai selesai.
" Masalah nya, lo masih Nisa yang seasik dulu. Partner basket gue, temen sepedahan gue, bahkan kita disebut pasangan emas. Gue canggung mau deket lagi sama lu."
" Karena kita beda?," Tanya ku akhirnya.
Dia hanya menghela nafas panjang. " Menghindari lo adalah hal tersulit. Gua nggak bisa menemukan pengganti lo. Dia mungkin lebih cantik, lebih anggun, lebih manja, lebih...tapi nggak ada yang bisa nemenin gua Nis." Aku terdiam, mencerna kalimat-kalimat yang barusan dikeluarkan.

" Tapi sekarang kenapa lo mau ngomong lagi? "
" Gue capek. Capek menghindari lo, capek mencari-cari, dan menyamakan perempuan lain. Karena cuma ada satu Nisa yang begini."
Sunyi kembali hadir.
" Maaf Nis."
" Ha? Kenapa minta maaf?," tanyanya bingung dengan penuturan ku.
" Gua pikir, selama ini lo benci sama gue karena gua akhirnya memutuskan berjilbab. Atau lo malu karena nggak bisa lagi keliatan bergaul sama gue beda sama lo. Ternyata lo malah beliin pashmina ini."
Dia menghela nafas lagi, " Gua juga yang salah. Tau-tau menghindari lo."
Kami berdua menghela nafas.
" Gue pulang dulu Nis, udah malem." Aku beranjak dari bangku.
" Iya gue juga." Dia ikut berdiri. " Eh iya Nis, besok Sabtu nonton yuk." ajak nya.
Aku menatap nya sebentar, melihat senyum nya.
" Boleh. Jam berapa?,"
" Nanti gue jemput ke rumah lo. Di rumah dari pagi kan?,"
" Iya. Oke gua tunggu. Papa kayaknya juga pengen ngobrol lagi sama lo haha."
" Sip. Eh, pashmina dari gue dipake ya." pinta nya bersemangat. Sesuatu yang hilang dari hidup ku bertahun-tahun, cara semangat mu.
" Iya. Sip." Aku mengacungkan jempol.

Di sepertiga malam itu, Aku kembali mendoakannya. Bukan supaya kami tidak lagi beda. Aku tidak mau memaksanya. Hanya berdoa supaya kami tetap saja begini, bahagia dengan cara kami sendiri.

Dennis

Malam itu, Aku juga berdoa dengan rosario di genggaman, di depan Kristus disalib. Supaya tetap saja begini. Entah doa siapa yang lebih dulu dikabulkan. :))




Tidak ada komentar:

Posting Komentar