Kamis, 26 Februari 2015

Surat Untuk Bapak

Jakarta, 26 Februari 2015



Kepada:
Bapak di Rumah Allah

Tentang: Hidup yang Tak Lagi Sama

Bapak, Rega nggak sanggup rasanya. Demi Allah ini melelahkan. Lebih-lebih dari apa yang dulu. Kalau dulu Bapak memberikan soal sebelum Rega boleh bermain, rasanya ini lebih. Soal ini diberikan oleh-Nya. 

Katanya, Allah nggak ngasih cobaan yang tidak mampu dilewati hamba-Nya. Kenapa Rega terus-terusan dicoba begini? Rasanya capek Pak.

Bulan lalu, tepat tanggal yang sama, Rega menyebrang ke Lampung dari Pelabuhan Merak. Rega ingat Bapak. Waktu kecil, Bapak pernah ajak Rega ke Pelabuhan, kita berangkat dari rumah Bude. Setiap Rega lihat kapal, Rega ingat foto kapal Bapak yang Bapak ambil pakai kamera digital. Rega mau kirim surat, nanti dilarung di laut. Tapi ada teman-teman. Rega takut nangis, malu. Tapi Rega juga kangen, mau cerita sama Bapak. Rega capek Pak. 

Tiba-tiba dunia Rega berubah belum ada setahun Bapak pergi, dunia jungkir-balik. Semua orang nggak percaya sama Rega. Semua. Cuma Abi yang tau, tapi Abi masih kecil. Kita nggak bisa apa-apa. Setahun kemudian, akhirnya beberapa orang mulai percaya. Tapi sudah terlambat. Semua sudah terlanjur berubah.

Kemudian, drama ini berulang terus, rasanya seperti punya siklus sendiri. Rega capek. Sebaiknya memang nggak ngeluh. Tapi Rega nggak tahan. Sewaktu teman-teman seumuran galau pilih universitas dan fakultas, atau galau soal pacaran, Rega harus lebih kuat dari itu. Cerita juga percuma, pengalaman yang mereka alami berbeda jauh. Rega cuma bisa nangis tiap malam, kadang sambil sujud, kadang sambil manggil-manggil Bapak.

Lalu, baru pertengahan tahun lalu semua menjadi jelas. Allah menunjukkan semuanya. Tapi nyatanya itu tidak mengubah banyak hal. Semua orang memang percaya sekarang, tapi mereka juga nggak bisa apa-apa. Mereka cuma bilang sabar. 

Kalau sudah capek gini, Rega cuma bisa meluk foto Bapak di kamar sambil nangis. Rega cuma kasian Dito Pak. Bapak pergi waktu Dito masih kecil. Rega nggak tahu Dito ngerasani apa, yang keliatan Dito riang-riang aja.

Bapak lihat kita nggak sih? Bapak sedih nggak? Rega sudah di level lelah paling memuakkan. Kenapa harus begini sih Pak? Kenapa bukan orang lain? Bapak sudah diambil, lalu kenapa masih ada yang lain? Apa Allah suka dengan air mata?

Mempertanyakan hal-hal itu memang bukan jenis pertanyaan pintar. Tapi Rega capek. 

Bapak, sebelum penutup Rega mau bilang, Rega mau peluk Bapak sekali lagi aja. Nggak banyak-banyak. Cuma untuk memastikan Bapak tahu Rega kuat, Rega sabar, Rega bisa Bapak percaya. Sekali aja Pak, kuatkan Rega.

Dulu, Rega jarang meluk Bapak karena Bapak melaut. Kalau Bapak pulang, Rega cuma cium tangan. Kalau Bapak berangkat lagi, Bapak nggak mau dipeluk karena takut nangis. Rega nggak pernah peluk Bapak setelah besar. Sewaktu Bapak mau dimakamkan Rega juga nggak sanggup meluk Bapak karena Rega nangis. 

Bapak, jangan lupa mampir di mimpi.

Salam Kangen Tak Terhingga,

Putri mu