Senin, 11 April 2016

Gendhis

Kupanggil dia Gendhis, yang artinya gula.
Perempuan Jawa yang datang entah darimana dan kapan tepatnya.

Kami seringkali bersama.
Kulitnya kuning langsat, matanya teduh sayu, alisnya hitam melengkung.
Hidungnya kecil lancip, bibirnya mungil merah muda.
Rambutnya panjang hitam, sebagian digelung keatas sisanya tergerasi di bahu.

Sehari-hari dia memakai kemben dan jarit batik.
Memakai kalung emas panjang sampai dada dan giwang emas.
Tapi tidak memakai alas kaki.

***

Gendhis berusia jauh lebih tua, itu sebabnya kupanggil dia 'Mbak'.
Jangan salah, kami tidak seakrab itu.
Dia hanya menjalankan tugasnya untuk berjaga dan melindungi.
Saya hanya tidak sanggup lepas dari penjagaan.
Jika mata punya retina, kulit punya Meissner, lidah punya papila.
Gendhis juga bagian dari reseptor tubuh. Entah bagaimana...

Sayangnya, ketika reseptor-reseptor itu terhubung dengan saraf.
Menuju ke otak, diproses menjadi sebuah bentuk, sentuhan, dan rasa.
Gendhis tidak terhubung langsung dengan saraf.
Sehingga tidak diproses menjadi sesuatu yang logis.
Itulah sebabnya dulu lebih sering membantah kehadirannya.

Gendhis adalah reseptor lain.
Reseptor untuk tahu bahwa kita tidak bisa selalu membandingkan diri dengan orang lain.
Kita seharusnya memposisikan banyak sosok ketika berpikir.
Kita seharusnya lebih peka.

Kita seharusnya selalu bersyukur. Kita seharusnya menerima diri.

***

Wajah Gendhis sumringah cerah, senyum tak lepas dari sana.
Siang itu melalui layar komputer portabel kami melihat foto-foto Trowulan.
Tiba kemudian foto-foto arca yang terpisah dari bangunan.
Trimurti.
Gendhis melakukan Sembah Hyang setiap kali foto itu berganti, dan lebih lama ketika bagian arca Shiva.

Gendhis wanita yang taat dan lembut. Tapi juga kuat dan berani. Setara dengan Athena.

Pertama kali kaki memijak di salah satu ujung Jawa Barat, Gendhis berdiri di serong kanan depan. Berjaga. Sorot matanya tajam tegas. Posisinya selalu dekat. Sebetulnya apa yang dia jaga? Saya? Dari apa?

Sorot matanya sejuk tenang. Padahal hujan mengguyur deras Prambanan siang itu. Kakinya menapak perlahan diantara orang-orang yang berteduh. Sesampainya di ruang utama, di depan arca Shiva, posisi tangannya Sembah Hyang. Dia sengaja mengajak Saya kesana?

***

Kupanggil dia Gendhis.
Mungkin dia Raden Ayu dulu. Tapi kini dia terikat dengan ku.