Ini bulan Januari hari ke-22, 4 hari sebelum 3 tahun meninggalnya Bapak.
Tadinya saya mau menulis ini tepat di hari itu, tapi karena ada kegiatan lain, saya posting lebih awal.
15 Januari 2013, Pakde juga meninggal, beberapa minggu sebelum 3 tahun Bapak. Dan yang lebih mengagumkan mereka di makam kan di lokasi yang sama. Hanya berbeda beberapa blok. Januari, kelabu sekali :(
Saya turut sedih. Katanya, kesedihan ditinggal pergi itu berbanding lurus dengan jumlah memori kita bersama orang yang meninggalkan kita. Nyatanya, saya tidak sedekat itu dengan Pakde. Tapi, sewaktu Bapak hidup dan sedang di rumah, Pakde sering berkunjung ke rumah. Dan satu memoar manis pun menguap saat malam Saya mendengar berita duka itu.
Bapak dan Pakde duduk berdua di teras rumah, keduanya melepas kaos. Bapak duduk di depan Pakde dengan memegang kaca spion. Pakde memegang gunting stainless punya Bapak, dan mulai memangkasi rambut Bapak. Lucu, mereka terlihat seperti kakak-adik (ya memang), yang masih berumur belasan tahun.
Dan kemudian, saya tersenyum dan menyadari sesuatu mengalir dari mata saya. Sekaligus sadar, mereka berdua sudah tiada.
Mungkin, bukan memori tentang Pakde yang membuat saya menangis. Tapi memori dengan siapa Pakde saat itu.
Dan ketika saya menulis ini pun, saya sadar mata saya memanas. :')
Bukan sesuatu yag memalukan menangisi apa yang kita cintai dan rindukan, terlebih orang itu memberikan sebagian darahnya untuk diwarisi. Dan memberikan kenangan dalam hidup mu yang tidak mudah di hapus, sekalipun ada orang lain yang berusaha menghapusnya.
Saya ingat, ketika kami pulang mudik. Pukul 3 dinihari, kami bersiap makan sahur. Lokasi sudah di Solo, dan kami memilih angkringan Nasi Gudeg. Ah ya saya tidak suka Gudeg. Saya, Abi, Dito (masih balita), dan Bapak menunggu ibu di mobil. Saat itu ada tukang es krim keliling. Ya es krim durian pukul 3 pagi, WOW. Solo memang luar biasa. Kami memesan 3 gelas es krim, untuk Saya, Bapak, dan Abi. Karena Abi tidak suka durian, es krim itu entah saya lupa nasibnya. Baru kali itu Bapak membelikan saya es krim, karena biasanya Bapak marah kalau anak-anaknya makan es krim, apalagi ini dini hari lhhooooo.
Saya ingat, betapa Bapak marah ketika melihat peringkat kelas Saya.
" Kamu peringkat 3 tapi begini aja kamu nggak bisa ngerjain? Nilai darimana ini?"
" Tapi emang matematika Rega jelek Pak, liat aja. Yang bikin peringkat tiga itu bukan matematika nya, " saya berusaha membela diri.
" Kamu nyontek?"
" Nggak. Eh, sedikit, temen Rega juga pada nanya Rega, "
" Bapaknya ini nyari biaya kamu sekolah sampai jauh-jauh layar ke laut. Bapaknya nggak bangga kalau kamu dapet nilai bagus bukan dari hasil mu sendiri. Kamu itu sekolah bukan cari nilai, tapi cari ilmu. Kalo kamu cari nilai, ilmu gak bakal dapet. Kalo kamu cari ilmu, nilai bisa dateng sendiri. Belajar lagi kamu, "
Padahal 90% nilai yang Saya dapat adalah hasil belajar Saya sendiri.
Sangat tidak adil, pikir Saya. Kenapa hanya Saya? Toh yang lain juga menyontek? Pertanyaan yang mudah di tebak, ya karena beliau Ayah Saya, jadi beliau menasehati Saya seperti itu. Semenjak saat itu, Saya melarang diri Saya untuk menyontek, dengan beberapa pengecualian sebenarnya.
Saya ingat, Bapak selalu menunggu Saya pulang les bahasa inggris setiap Jumat malam di depan teras. Seorang gadis tidak pantas pulang malam, beberapa kali Bapak pernah menjemput Saya ke lokasi.
Saya ingat, lagu-lagu yang beliau suka. Keroncong, Tembang Jawa, Campur sari, sampai musik rock.
Saya ingat, bagaimana beliau tertawa melihat porsi makan saya. Anak perempuan dengan porsi makan kuli.
Saya ingat, cara beliau memanggil Saya untuk membelikan rokok.
Saya ingat, bagaimana rasanya berdiskusi dengan beliau. Walaupun lebih sering meninggalkan negerinya, Saya tahu Bapak sangat mencintai budayanya. Diskusi kami mengenai sejarah, menjadi memori paling banyak di sepanjang Jalan Slamet Riyadi.
Saya ingat, bagaimana cara beliau makan dan apa yang beliau makan. Bapak sederhana, beliau suka makan di angkringan.
Saya ingat bagaimana beliau menyeret kopernya di bandara, dengan kemeja kotak-kotak, dan kacamata hitam.
Saya ingat wajah tidurnya serupa dengan wajah saat Bapak meninggal.
Dan setelah 3 tahun ini, saya lupa bau dan hangat tangan Bapak yang biasa Saya cium ketika pamit sekolah.
Tuhan bisa ambil raganya dari sisi kami, karena itu hak-Nya
Tapi Tuhan tidak bisa mengambil kenangan ini dari kami, karena ini masih hak kami.
Posting ini teriring bersama doa dan tahlil kami.
Rest In Peace, My beloved father. Ur dream, ur spirit, ur brave are always in our heart.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar