Setiap setahun sekali Saya menghabiskan malam takbiran di tempat itu.
Kampung yang dihuni mayoritas muslim, di ujung jalan sana ada sebuah rumah.
Rumah khas jawa, tidak ada dinding batu bata, hanya ada kayu-kayu.
Tidak ada sekat kamar untuk tidur, hanya ada ruang tengah luas tempat karpet dan kasur digelar.
Di rumah ini, konon Ibu saya menghabiskan masa kecil nya, sebagai anak ragil.
Dulu, ada 6 orang lainnya yang menghuni rumah ini. 2 orang putra dan 4 orang putri, serta Ibu saya.
Sekarang hanya ada 2 orang renta yang tinggal disana.
Sepasang suami istri yang hanya mampu mengingat umurnya sudah lebih dari setengah abad, mungkin sudah seabad.
Tahun-tahun Lebaran yang Saya lalui dengan Mbak-Mas sepupu saya, dan adik-adik saya, bukan menikmati lengangnya Jakarta.
Kami disuguhi riuhnya rumah kayu itu dengan jumlah tamu yang datang.
Dua orang itu dianggap orang tertua yang harus dikunjungi setiap Lebaran.
Setiap hari Idul Fitri, rumah itu tidak pernah sepi.
Saya dan keluarga biasanya menjadi yang paling akhir kembali ke Jakarta.
Yang terakhir kali menikmati keadaan kampung itu setelah Lebaran, setelah ditinggal merantau lagi.
Yang tersisa hanya dua renta tadi. Beserta tetangga mereka, yang juga renta.
Mereka, renta, sendiri di rumah kayu.
Nantinya, tangan keriput itu akan kembali mengambil kayu bakar sendiri.
Kaki renta itu akan kembali menapaki jalan menuju langgar perlahan.
Rumah kayu itu kembali hanya akan sunyi.
Suara jangkrik di belakang rumah akan terdengar lebih nyaring.
Suara gesekan buluh bambu di samping rumah akan terdengar lebih mistis.
Sampai suatu kali, kembali Idul Fitri.
Rumah kayu itu kembali riuh, kembali berpenghuni.
Dua renta tadi, dan tetangga-tetangga mereka yang juga renta punya kawan lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar