Senin, 25 Agustus 2014. Setiap hari Senin, Taman Margasatwa Ragunan off, hari ini tidak boleh ada kunjungan. Jadi, bisa dibilang hari Senin adalah hari cuti bagi satwa-satwa penghuni TMR. Kebijakan ini disebut Hari Satwa.
Cuti seperti ini hanya berlaku bagi satwa, karyawan dan pkl tetap harus masuk. Ya kalo karyawannya cuti juga, satwa nya nggak makan dong? Dan menurut Saya, Hari Satwa adalah hari paling lama, mungkin karena terlihat sepi jadi terasa lama?
Jadilah hari ini Saya iseng jalan-jalan sendirian, setelah memberi makan tentunya.
Tujuan Hari Satwa ini memberikan privasi kepada satwa, supaya nggak stress karena terus-terusan di-'pajang'. Iya dipajang. Ada aja pengunjung aneh yang kalo liat satwa, ngomongnya aneh-aneh, macam:
" Yah kok tidur sih macannya?," Jelas lah, hari itu siang cerah. Lagipula itu harimau bukan macan -_-
Atau...
" Kembangin dong ekornya, " Lho, mereka kan binatang, ekornya akan dibuka nanti untuk menarik betinanya di musim kawin. Bukan untuk menarik perhatian anda -_-. Kau pikir mereka model?
Ngerti sih, maksudnya mungkin sebagian hanya gurauan tapi tetep aja bikin mikir, " apasih ni orang?".
Pengunjung kadang suka nggak terima dengan kelakuan satwa, lho -_-
Seolah merak jawa nya nggak boleh keserimpet ekornya.
Elang Laut nya nggak boleh keliatan loyo, harus tegap begitu terus. Gagah.
Tapi hari ini ada elang bondol yang nabrak kandang karena mau turun ke kolam. Dia pake acara mandi pula di kolam. Biasanya nggak.
Dua ekor merak jantan berebut perhatian seekor betina dikandang berbeda, mirip cinta segitiga.
Mereka menikmati hari ini, jadi diri mereka sebagai binatang bukan pajangan :)
Saya tergelak-gelak sendiri.
Kemudian ingat dia, partner saya. Yang kelakuannya aneh itu, iya yang aneh tapi kalau didepan orang sok cool itu.
Rasanya kadang timbul kasihan, hidupnya kaku amat -_-
Harus terlihat sempurna, atau memang dia yang mau dipandang sempurna? Ah sepertinya memang keduanya.
Memangnya nggak capek ya? Kamu pura-pura kan? Coba buka topengnya :)
No no, I'm fine. Buka aja. Kan yang boleh sempurna itu cuma Tuhan.
Memangnya kamu Tuhan? Hihihi, jangan merasa begitu. Nanti kamu capek sendiri.
Karena manusia itu hanya ciptaan, makanya nggak bisa sempurna.
Mungkin sebaiknya, kita adakan hari khusus seperti ini. Di hari seperti ini, kamu bisa melepas topeng seharian. Seharian loh :)
Kamu mau ngapain juga silahkan. Selama nggak merugikan orang lain.
Kamu nggak perlu takut kepladuk batu-jatuh-bedarah-darah.
Nggak perlu takut dipandang aneh. Karena sebetulnya setiap orang itu aneh.
Dan kamu nggak perlu bohong. Iya, bohong.
Entah kenapa partner mu ini sering merasa dibohongi.
Kalau partner sendiri saja tidak bisa kamu beri kejujuran, lantas yang mana yang kamu beri?
Kalau partner sendiri saja tidak bisa dipercaya, lantas percaya siapa?
Benar, keluarga. Betul sahabat. Tapi bukankah partner itu orang yang ada disamping mu ketika melakukan kesalahan dalam sebuah pekerjaan? Seorang partner tahu apa yang kurang baik sampai yang luar biasa dari pasangannya. Dan dia menerima nya, seperti yang sedang kulakukan.
Bagi partner mu ini, cukuplah menjadi kamu sendiri dihadapan partner mu.
Iya memang kamu lakukan, tapi...itu pun kamu lakukan setengah-setengah.
Hey, kita masih partner nggak sih? Kalau iya, jangan setengah-setengah.
Partner mu tidak butuh segala macam 'pajangan' yang melekat padamu.
Kita bikin Hari Partner saja, untuk Kamu,
Senin, 25 Agustus 2014
Senin, 04 Agustus 2014
Mudik
Setiap setahun sekali Saya menghabiskan malam takbiran di tempat itu.
Kampung yang dihuni mayoritas muslim, di ujung jalan sana ada sebuah rumah.
Rumah khas jawa, tidak ada dinding batu bata, hanya ada kayu-kayu.
Tidak ada sekat kamar untuk tidur, hanya ada ruang tengah luas tempat karpet dan kasur digelar.
Di rumah ini, konon Ibu saya menghabiskan masa kecil nya, sebagai anak ragil.
Dulu, ada 6 orang lainnya yang menghuni rumah ini. 2 orang putra dan 4 orang putri, serta Ibu saya.
Sekarang hanya ada 2 orang renta yang tinggal disana.
Sepasang suami istri yang hanya mampu mengingat umurnya sudah lebih dari setengah abad, mungkin sudah seabad.
Tahun-tahun Lebaran yang Saya lalui dengan Mbak-Mas sepupu saya, dan adik-adik saya, bukan menikmati lengangnya Jakarta.
Kami disuguhi riuhnya rumah kayu itu dengan jumlah tamu yang datang.
Dua orang itu dianggap orang tertua yang harus dikunjungi setiap Lebaran.
Setiap hari Idul Fitri, rumah itu tidak pernah sepi.
Saya dan keluarga biasanya menjadi yang paling akhir kembali ke Jakarta.
Yang terakhir kali menikmati keadaan kampung itu setelah Lebaran, setelah ditinggal merantau lagi.
Yang tersisa hanya dua renta tadi. Beserta tetangga mereka, yang juga renta.
Mereka, renta, sendiri di rumah kayu.
Nantinya, tangan keriput itu akan kembali mengambil kayu bakar sendiri.
Kaki renta itu akan kembali menapaki jalan menuju langgar perlahan.
Rumah kayu itu kembali hanya akan sunyi.
Suara jangkrik di belakang rumah akan terdengar lebih nyaring.
Suara gesekan buluh bambu di samping rumah akan terdengar lebih mistis.
Sampai suatu kali, kembali Idul Fitri.
Rumah kayu itu kembali riuh, kembali berpenghuni.
Dua renta tadi, dan tetangga-tetangga mereka yang juga renta punya kawan lagi.
Kampung yang dihuni mayoritas muslim, di ujung jalan sana ada sebuah rumah.
Rumah khas jawa, tidak ada dinding batu bata, hanya ada kayu-kayu.
Tidak ada sekat kamar untuk tidur, hanya ada ruang tengah luas tempat karpet dan kasur digelar.
Di rumah ini, konon Ibu saya menghabiskan masa kecil nya, sebagai anak ragil.
Dulu, ada 6 orang lainnya yang menghuni rumah ini. 2 orang putra dan 4 orang putri, serta Ibu saya.
Sekarang hanya ada 2 orang renta yang tinggal disana.
Sepasang suami istri yang hanya mampu mengingat umurnya sudah lebih dari setengah abad, mungkin sudah seabad.
Tahun-tahun Lebaran yang Saya lalui dengan Mbak-Mas sepupu saya, dan adik-adik saya, bukan menikmati lengangnya Jakarta.
Kami disuguhi riuhnya rumah kayu itu dengan jumlah tamu yang datang.
Dua orang itu dianggap orang tertua yang harus dikunjungi setiap Lebaran.
Setiap hari Idul Fitri, rumah itu tidak pernah sepi.
Saya dan keluarga biasanya menjadi yang paling akhir kembali ke Jakarta.
Yang terakhir kali menikmati keadaan kampung itu setelah Lebaran, setelah ditinggal merantau lagi.
Yang tersisa hanya dua renta tadi. Beserta tetangga mereka, yang juga renta.
Mereka, renta, sendiri di rumah kayu.
Nantinya, tangan keriput itu akan kembali mengambil kayu bakar sendiri.
Kaki renta itu akan kembali menapaki jalan menuju langgar perlahan.
Rumah kayu itu kembali hanya akan sunyi.
Suara jangkrik di belakang rumah akan terdengar lebih nyaring.
Suara gesekan buluh bambu di samping rumah akan terdengar lebih mistis.
Sampai suatu kali, kembali Idul Fitri.
Rumah kayu itu kembali riuh, kembali berpenghuni.
Dua renta tadi, dan tetangga-tetangga mereka yang juga renta punya kawan lagi.
Langganan:
Postingan (Atom)