April, 9 April 2014
Kepada Galaksi Bima Sakti
Tempat jauh nan penuh cahaya.
3 hari lalu, massa hidup ku berkurang. 21, angka yang besar. Itu berarti sudah 4 tahun lebih Bapak pergi. Meninggalkan Aku, anak perempuan satu-satunya.
Aku titip salam untuk beliau.
Air mata ini tidak akan pernah habis sejujurnya.
Rasa kehilangan, dan ribuan rindu tidak pernah hilang sebetulnya.
Ku tahan, ku penjarakan dalam.
Seolah baik-baik saja kemudian.
Pak, masih ingat wejangan saat pertama kali Rega menstruasi?
Beliau menelepon, dari seberang lautan. Suaranya masih terbayang sampai saat ini.
Suara tenang, dalam. Terselip kebanggan, yang seolah bicara diam-diam
" Kamu sudah besar. Putri bapak sudah besar,".
Aku yang selalu takut dengan mu, hanya mendengarkan dan menjawab dengan 'Iya'.
Tapi sejak itu, Aku tidak pernah berniat mengkhianati kepercayaan Bapak dan Ibu.
"Semua terserah Kamu Ga, Bapak dan Ibu yang sediakan biaya nya. Kamu yang perjuangkan masa depan mu."
Menuju usia 17 tahun, Bapak mulai bertanya mau melanjutkan pendidikan kemana?
Keinginan Bapak supaya Aku jadi sarjana, sedang kuperjuangkan. Kuharap tidak akan sulit untuk mengenggamnya nanti. Singapura atau Beasiswa Jepang sudah kuperhitungkan, sudah kuperbincangkan dengan Bapak dan Ibu. Sampai kemudian, hari itu datang. Hancur hati kami semua, bukan hanya Ibu yang merasa ditinggalkan. Percayalah, kami, anak-anakmu. Aku, putrimu. Saat itu juga aku merubah tujuan. Tidak perlu pergi kesana. Disini saja, menjaga peninggalan Bapak yang berharga; Ibu, Abi, dan Dito.
Saat itu hanya tiga bulan lagi menuju 17 tahun ku. Dan Bapak tidak sempat memberi ku 'hadiah'.
Sebegitu percayakah Bapak? Aku masih memegang nya, Rega masih putri Bapak yang dulu Bapak berikan nasehat.
Pak, hari ini Rega 21. Bapak nggak mau ngasih wejangan? (6 April 2014)
Bapak tidak datang malam itu, tidak mengucapkan apapun lewat mimpi. Bapak lupa? Ibu datang ke kamar shubuh itu, dengan setengah menangis.
" Mbak, kamu kok nggak bangun? Kan hari ini ulang tahun,"
" Ha? Iya ya? Eh iya...Rega lupa bu,". Aku lupa hari lahir ku sendiri. Pentingkah mengingatnya? Aku hanya perlu tahu, setiap bulan keempat massa hidup ku berkurang.
Kemudian beliau mengucapkan harapan-harapan. Termasuk harapan agar aku segera menemukan laki-laki yang bisa menemani dan menjaga putri satu-satunya.
Kalau Bapak ada, mungkin akan lebih rumit. Akan lebih banyak introgasi. Membayangkan nya saja membuat ku tersenyum. Seharusnya, Bapak memang menjadi filter, lebih jauh lagi, seharus nya Bapak bisa menjadi wali ku. Lebih indah lagi, seharusnya Bapak bisa mendengar anak-anak ku memanggil Bapak dengan sebutan 'Akung'.
Sekarang, Aku tidak punya itu. Filter nya ku lakukan sendiri, belajar dari mereka di sekitarku. Semoga tidak salah. Semoga tidak tersesat. Aku melakukan yang terbaik yang bisa kulakukan, dan berdoa supaya yang kulakukan benar, yang kulakukan sesuai dengan harapan Bapak.
Pak, Rega mau ketemu. Sebentar. Bisa?
Bohong, kalau Aku bilang tidak akan pernah menangis lagi. Ini kenikmatan rindu atas orang yang aku cintai.
Akan kuselipkan doa pada tiap kata rindu dan tetesan air mata.
Selama, rasi Salib Selatan masih bisa kutemukan. Selama itu pula, Aku bisa menemukan Bapak tidak pernah jauh dari kami.
Selama lautan masih menggenangi bumi, selama itu pula bau lautan serupa bau tangan Bapak tiap kucium hormat.
Salam kangen,
Kami, yang Bapak tinggalkan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar