Cibubur, 9 Maret 2015
Kepada: Partner in Crime, yang menemani kebodohan ku dulu
Tentang: Bicara Serius
Selamat sore, senja belum mulai jatuh di tempat ku menulis ini. Aku yakin tempat mu juga belum. Aku perlu basa-basi tidak sih, tanya kabar mu?
Baiklah, pertama-tama. Aku disini baik-baik saja (kalau kamu mau tahu). Yah, seperti biasa. Kadang, masih sering merasa nyeri di bagian 'itu'. Tapi kamu tahu kan? Aku sudah berhenti, sebetulnya mengurangi. Kadang, aku tidak bisa tidur kalau sedang kambuh. Oke, cukup soal Aku.
Kamu, apa kabar? Belakangan ini, entah kenapa perasaan ku tidak enak soal kamu. Lagi. Terakhir kali aku merasa seperti ini, kemudian aku tahu kamu sakit. Tapi rasanya kali ini 'sakit' mu agak parah. Aku khawatir, tapi tidak takut. 'Dia' pasti menjaga mu kan? Ah ya, pasti.
Sejak awal, aku curiga soal 'dia'. Seharusnya, 'dia' akan selalu disamping mu. SE-LA-LU. Tapi entah kenapa, aku selalu merasa kamu sendirian. Akhir tahun lalu, aku mendapat firasat kamu jatuh, sendirian. Padahal ada 'dia'. Sekarang-sekarang ini, aku mendapat firasat kamu 'sakit', sendirian, masih dalam posisi 'jatuh' mu. Yang mau kutanyakan, Kamu baik-baik saja sekarang?.
Op..op...tidak perlu menjawab, Aku tahu kamu selalu tidak ingin terlihat lemah. Entah takut atau malu. Tapi aku selalu bisa 'melihat' mu. Berbohong pun percuma, Aku tahu.
Dulu, aku bisa menawari mu tangan untuk berdiri, banyolan untuk ditertawakan, atau sekedar telinga untuk mendengar curhat mu. Walaupun, dulu 'dia' pun ada di dekat mu, aku masih bisa melakukannya. Sekarang, sekalipun 'dia' jauh, aku sudah tidak bisa. Jangan kan menawari telinga, mendekat pun aku akan terlihat salah.
Jadi, semoga kamu membaca ini. Kalaupun tidak, semoga Allah menyampaikan ini.
Aku juga pernah jatuh. Kemudian diinjak, ditendang, dipukuli, diludahi. Nggak percaya? Aku hampir pernah berniat untuk 'pergi' dari Allah. Tapi Allah tidak pernah meninggalkan bocah perempuan ini. Perlu kelapangan luar biasa untuk menerima musibah, yang dalam bahasa baik nya ujian. Aku tahu kamu tidak perlu diingatkan soal ini. Tapi kamu perlu disadarkan. Partner, kamu tidak cukup lapang, tidak cukup sabar. Kesal? Karena kesok-tahuan ku? Seharusnya kita memang meluangkan waktu lebih banyak untuk cerita. Supaya kamu tahu apa maksudku.
Kamu selalu bilang aku tidak akan mengerti. Oh iya tentu saja, toh kamu tidak pernah cerita. Bukankah kita sepakat untuk melihat dari berbagai perspektif? Itu dia alasan mengapa aku masih ingin memberitahu mu ini, melalui surat. Semua orang punya hal yang tidak bisa dibagi. Aku juga. Kamu tahu? Kita sama-sama penyimpan rahasia. Kita sama-sama takut. Kita sama-sama suka memakai sesuatu untuk menutupi. Beda nya; Aku tahu pasti kapan membuka itu, supaya orang lain tidak merasa dikelabui. Kamu, tidak. Penuh tipuan agar disenangi. Ketika orang lain tahu rupa asli mu, mereka lalu pergi. Bahkan marah. Tentu saja, kamu kelabui mereka Partner! Aku tidak lari, tidak berusaha marah. Karena aku sudah tahu sebetulnya. Tapi aku menjaga jarak untuk keselamatan ku sendiri.
Aku bisa melihat obsesi mu hanya dari kilatan matamu senja itu. Sekaligus melihat sepi dan rindu mu dari cahaya mata mu yang bias dengan lampu kota di jembatan itu. Kamu menyedihkan. Seperti aku dulu. Ketika aku 'kehilangan' diri karena obsesi, ada orang-orang di sekeliling ku yang memegang tangan ku agar tidak tersasar jauh. Mereka menemani disamping ku, bukan didepan ku layaknya memimpin, atau dibelakang layaknya tidak peduli. Mereka memegang bahuku, mendengarku, bicara padaku. Aku ingin seperti itu. Kalau masih bisa. Tapi sekarang ini, sepertinya bukan ranah ku lagi.
Sekarang, aku hanya ingin berbagi 'obat' ketika aku merasa 'jatuh' pada obsesi ku, atau hal lain.
Wahai orang-orangg yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar. (Q.S 2: 153)
Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar (Q.S 2: 155)
Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan ( Q.S 94: 5)
Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya
Aku nggak akan memberi peluk yang kamu minta, karena Allah akan memeluk mu dengan cara yang luar biasa.
Aku nggak bisa memberi tangan untuk kamu berpegang, cukuplah Allah jadi penolong.
Ah iya, aku ingin bilang. Sewaktu kamu menjadi imam, aku agak deg-degan. Apa suara mu lebih bagus dari Ustad Qomar? Oh tidak mungkin, hafalan dan suara sekaliber ustad. Walaupun kamu bilang kamu ingin belajar 'kaffah' dan keluarga mu berusaha syar'i. Maaf sekali, aku ragu. Bagaimana mungkin kamu belajar kaffah sedang kalian sering 'berdua'. Perlukah kuingatkan kalian berdua dimana? Jangan, nanti kamu malu. Sekalipun saat itu kamu tidak mengakui 'dia', toh kamu tidak menjaga pandangan bukan?
Makanya aku penasaran. Sebagus apa suara orang yang mau belajar 'kaffah' ini? Sekaya apa hafalannya? Kalau hanya sekaliber Kak Andi, yah itu belum apa-apa. Kak Andi dengan kamu saja sudah beda 5 tahun, masa iya hafalan nya selevel? Begitu kamu mulai takbiratul ihrom, aku menyimak. Dan langsung kecewa, Kunto dan Syahnaz pun lebih bagus dari kamu. Maaf aku bilang begini. Satu pesan lagi, jangan mengumbar perkataan baik. Apalagi soal agama. Kalau ketahuan kamu tidak sebagus itu, kamu akan malu.
Mungkin, Allah cemburu. Kamu lebih sering berduaan dengan 'dia' dibanding dengan-Nya. Padahal halal saja belum. Makanya, walaupun kamu belajar syariat tapi tidak berbekas. Kenapa aku bisa berkata ini? Aku juga beitu Partner. Sungguh deh.
Hafalan ku hilang. Seperti yang kubilang, mungkin Allah cemburu. Aku ke masjid punya tujuan lain, bertemu Mas Ganteng. Ke rumah Allah bukan niat bertemu Allah (baca= ibadah) malah cari yang lain. Kita sama-sama buruk. Tapi, Kita sama-sama punya niat baik. Yuk benahi.
Cepat sembuh, cepat kembali Partner. Allah be patient one :)
Salam,
R. A. R